MK kabulkan permohonan uji materi yang diajukan mantan pekerja outsourcing. Foto: SGP
Kabar baik bagi para buruh. MK akhirnya membatalkan ketentuan daluwarsa dua tahun atas pembayaran upah seperti diatur Pasal 96 UU No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan yang dimohonkan Martin Boiliu Dkk. Ini artinya buruh
bisa kapanpun mengajukan tuntutan pembayaran upah dan hak lainnya yang
timbul dari hubungan kerja.
“Mengabulkan permohonan pemohon, menyatakan Pasal 96 UU Ketenagakerjaan
bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat,” tutur Ketua Majelis MK, M. Akil Mochtar saat membacakan
putusannya di Gedung MK, Kamis (19/9).
Mahkamah beralasan hak pemohon menuntut pembayaran upah pekerja dan
segala hak yang timbul dari hubungan kerja karena Pemohon telah
melakukan pengorbanan berupa prestasi kerja. Sama halnya dengan hak
kepemilikan benda, dalam hal ini hak kebendaan itu berwujud pekerjaan,
sehingga memerlukan adanya perlindungan selama si pemilik hak tidak
melepaskan haknya itu.
Ditegaskan Mahkamah upah dan segala pembayaran yang timbul dari
hubungan kerja merupakan hak buruh yang harus dilindungi sepanjang buruh
tidak melakukan perbuatan yang merugikan pemberi kerja.“Oleh sebab itu
upah dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja tidak dapat
hapus karena adanya lewat waktu tertentu,” kata Hakim Konstitusi
Harjono, saat membacakan pertimbangan hukumnya.
Menurut Mahkamah apa yang telah diberikan buruh sebagai prestasi harus
diimbangi dengan upah. Karena itu, upah dan segala pembayaran yang
timbul dari hubungan kerja adalah hak milik pribadi dan tidak boleh
diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun, baik perseorangan
maupun lewat peraturan perundang-undangan.
“Karenanya, menurut Mahkamah, Pasal 96 UU Ketenagakerjaan terbukti
bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945,” tegas
Harjono.
Namun, putusan ini tidak ambil dengan suara bulat. Salah satu Hakim
Konstitusi Hamdan Zoelva memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion)
dari semua koleganya. Menurut Hamdan, pembatasan hak untuk menuntut
karena lewatnya waktu (kadaluwarsa) adalah lazim dalam sistem hukum
Indonesia baik dalam sistem hukum perdata maupun pidana.
“Dalam hukum perdata diatur Pasal 1967 sampai dengan Pasal 1977 KUH
Perdata, khusus perburuhan diatur Pasal 1968, Pasal 1969, dan Pasal 1971
KUH Perdata, yaitu batas kadaluwarsa untuk menuntut hak upah bagi buruh
atau pekerja atau tukang. Sementara dalam hukum pidana, diatur dalam
Pasal 78 ayat (1) tentang daluwarsa hak menuntut pidana,” sebut Hamdan
mencontohkan.
Menurutnya, tidak adanya masa kadaluwarsa dalam mengajukan tuntutan
khususnya dalam hubungan kerja mengakibatkan hilangnya kepastian hukum
bagi pengusaha sampai kapan akan menghadapi tuntutan hak dari
pekerjanya. Hal ini juga dapat mengganggu kelangsungan usahanya.
“Dengan tidak berlakunya Pasal 96 UU Ketenagakerjaan justru akan
menimbulkan ketidakpastian hukum yang justru tidak sesuai dengan
prinsip-prinsip yang diamanatkan konstitusi yang menghendaki adanya
kepastian hukum,” dalihnya.
Karena itu, Hamdan berpendapat MK seharusnya hanya mengabulkan
permohonan Pemohon dengan menentukan syarat keberlakuan Pasal 96 UU
Ketenagakerjaan. Yaitu bertentangan dengan konstitusi sepanjang tidak
dikecualikan bagi pengusaha yang tidak membayar seluruh hak pekerjanya
karena iktikad buruk.
Kemenangan buruh
Usai persidangan, Marten Boiliu mengungkapkan rasa bersyukur atas dikabulkan permohonan ini. Dia mengatakan dibatalkannnya Pasal 96 UU Ketenagakerjaan ini merupakan kemenangan buruh. “Puji syukur pada Tuhan, hakim MK, ahli yang telah membantu, dan juga media. Bagi saya ini pertimbangan yang cukup luar biasa. Ini kemenangan buruh, bukan secara pribadi,” kata Marten.
Usai persidangan, Marten Boiliu mengungkapkan rasa bersyukur atas dikabulkan permohonan ini. Dia mengatakan dibatalkannnya Pasal 96 UU Ketenagakerjaan ini merupakan kemenangan buruh. “Puji syukur pada Tuhan, hakim MK, ahli yang telah membantu, dan juga media. Bagi saya ini pertimbangan yang cukup luar biasa. Ini kemenangan buruh, bukan secara pribadi,” kata Marten.
Bermodalkan putusan MK ini, dia mengaku akan mengugat hak pesangon ke
Pengadilan Hubungan Industrial. Sebab, setelah putusan MK ini setiap
tuntutan hak pembayaran upah dan hak-lainnya tidak ada masa jangka
waktunya. “Melihat putusan-putusan MA sebelumnya gugatan buruh yang
tuntutan haknya melebihi dua tahun itu, ditolak.”
Berbeda dengan wakil pemerintah. Kasubag Litigasi pada Biro Hukum
Kemenakertrans Umar Kasim mengaku kecewa dengan putusan MK ini.
Menurutnya, putusan MK ini akan berdampak buruk bagi pengusaha. Sebab,
nantinya buruh akan seenaknya untuk menuntut haknya karena tidak ada
daluwarsa.
“Buruh akan santai-santai saja dan bisa seenaknya menuntut haknya karena tidak ada jangka waktunya,” kata Umar Kasim.
Dia beralasan dalam hukum perdata (perburuhan) dan hukum pidana saja
mengenal ketentuan daluwarsa. Seperti diatur Pasal 78 KUHP. “Putusan ini
bisa menimbulkan ketidakpastian hukum.”
Permohonan ini diajukan Marten Boiliu, seorang mantan Satpam di PT
Sandhy Putra Makmur, lantaran tidak memperoleh hak pesangon saat dirinya
di-PHK pada 2 Juli 2009. Padahal pemohon sudah bekerja selama tujuh
tahun di perusahaan outsourcing itu dengan status pekerja kontrak.
Marten yang juga mewakili 65 orang rekan sesama Satpam merasa
berlakunya Pasal 96 UU Ketenagakerjaan mengakibatkan pemohon tidak bisa
menuntut hak uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang
penggantian karena tuntutan hak sudah kadaluwarsa dan melewati dua
tahun.
Pasal ini dinilai diskriminatif dan lebih menguntungkan pengusaha.
Untuk itu, pemohon meminta MK membatalkan Pasal 96 UU ketenagakerjaan
karena bertentangan dengan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945.
sumber : HUkum online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar