MEDAN : Penyelesaian sengketa atau konflik pertanahan, termasuk klaim masyarakat hukum adat atas tanah Hak Guna Usaha (HGU) yang diakui sebagai tanah ulayat merupakan salah satu permasalahan tanah di Sumatera Utara yang sampai saat ini belum terpecahkan.
Hal tersebut disampaikan Pelaksana Tugas Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho dalam sambutannya pada Seminar Uji Sahih Rancangan UU Tentang Hak-Hak Atas Tanah di kampus Universitas Sumatera Utara (USU) yang dibacakan staf ahli Gubernur Zulkifli Taufik di Medan, Selasa 20 Maret 2012.
Gatot mengatakan, permasalahan tersebut antara lain disebabkan adanya perbedaan persepsi antara pemerintah dengan masyarakat hukum adat, tentang keberadaan tanah ulayat yang berdasarkan hukum agraria nasional masih tetap diakui.
Selain itu, lanjut Gatot, tanah-tanah perkebunan yang diklaim oleh masyarakat hukum adat sebagai tanah ulayat tersebut secara juridis formal, juga telah memiliki bukti hak, berupa HGU yang telah dikuasai dan diusahai oleh perusahaan perkebunan selama puluhan tahun.
Rumit penyelesaian kasus-kasus tanah tersebut dan sering menimbulkan benturan kepentingan antara masyarakat yang merasa sebagai pemegang hal ulayat dengan pihak perkebunan yang telah memiliki HGU sebagai suatu bukti hak atas tanah.
"Secara umum masalah yang krusial saat ini di Sumut adalah menyangkut adanya areal yang tidak diberikan lagi perpanjangan HGU PTPN II seluas 5.873,06 hektare sesuai SK BPN Nomor 42,43,44/HGU/BPN/2002 dan SK Nomor 10/HGU/BPN/2004 terletak di Kabupaten Deli Serdang, Serdang Bedagai, Langkat dan Kota Binjai," katanya.
Menurut Gatot, sengketa pertanahan merupakan hal yang kompleks karena menyangkut aspek politik, ekonomi, sosial dan budaya, bahkan pertahanan dan keamanan. Apalagi tanah merupakan faktor produksi yang utama, baik bagi pembangunan mau pun untuk memenuhi kebutuhan hidup anggota masyarakat sehari-hari.
"Berdasarkan kenyataan itu, tidak mengherankan bila konflik pertanahan selalu muncul ke permukaan, terlebih-lebih pada era reformasi saat ini dimana kebebasan dinyatakan seluas-luasnya oleh masyarakat," katanya.
Dia menjelaskan, konflik pertanahan yang terjadi saat ini secara kultur didukung dengan heteroginitas suku, bukan hanya terjadi antara sesama anggota masyarakat, tetapi juga masyarakat dengan pemerintah dan masyarakat dengan pihak perkebunan.
Disatu pihak, masyarakat masih menggunakan hukum adat sebagai sandaran peraturan pertanahan dan diakui oleh komunitasnya, namun dilain pihak hukum agraria nasional belum sepenuhnya mengakui validitas hukum adat tersebut.
"Inilah persoalan yang harus dicari pemecahannya.Semoga dengan adanya acara ini akan memberikan manfaat bagi kita semua dalam upaya penanganan masalah pertanahan di daerah," katanya.(antara)/Eksp
Tidak ada komentar:
Posting Komentar